Malam ini
tak secerah biasanya, bintang dan bulan enggan keluar dari singgahsananya
sehingga membuat langit kesepian tanpa teman. Diatas sana hanya terlihat
segerombolan awan hitam yang sebentar lagi akan mengerahkan pasukannya untuk
membasahi bumi yang sudah lama haus akan kesegaran. Akhirnya rintik hujanpun
mulai turun disertai angina yang cukup kencang, kurapatkan kerah jaketku tapi
sepertinya tidak mengurangi rasa dingin yang telah menusuk relung-relung
tulangku. Suasana malam ini benar-benar mewakili suasana hatiku yang sedang
kelam. Ku duduk di bibir jendela seraya menatap di luar.
“ lho kog belum tidur ?” Tanya
Nina yang baru keluar dari toilet. Aku menoleh ke arahnya sambil tersenyum
tipis.
Malam ini aku tidur di rumah Nina karena aku kabur dari rumah. Nina adalah
sahabatku yang selama 3 tahun sabar meladeni sifat egoisku dan yang selalu ada
untukku. Setiap aku bertengkar dengan mama, aku selalu kabur pergi ke rumah
Nina dan pada Ninalah aku memuntahkan uneg-uneg dan semua masalahku. Setaun
terakhir ini ku ditinggalkan orang-orang yang kucintai. Setaun yang lalu papa
dan mama bercerai dan itu membuatku terpukul, hancur, dan sedih. Saat ini aku
sudah jarang ketemu dengan papa. Kabar terakhir yang ku dengar papa sudah
menikah lagi dengan orang Palembang dan akhirnya menetap disana. Sementara
mama, walaupun sekarang ku tinggal dengannya, tapi aku juga jarang bertemu
dengan mama. Karena mama sering pergi ke luar kota mengurus bisnisnya.
Pulang-pulang besoknya pasti dah pergi lagi. Aku benci ! Aku bosan ! Aku muak
dengan keadaan yang seperti ini ! Sering aku berfikir ga’ ada yang saying lagi
ma aku ! Ga’ da lagi yang peduli ma aku ! Apa mereka ga’ ngerti apa yang
sebenarnya kerasakan ? aku takut, aku ga’ mau hidup sendiri…, dan apa mereka
juga tau setiap malam, setiap waktu ku kesepian. Hati ini rindu dengan belaian
tangan yang lembut dari seorang ibu. Diri ini sangat ingin di lindungi dengan
sosok ayah yang tangguh, pengertian, dan penyayang. Apa mereka tau semua itu ?
aku juga sering berfikir dengan kehadiran Nina di sisiku itu membuatku jauh
kebih baik.
“ Eca, jangan duduk di jendela
gitu donk, loe bisa masuk angin.” Nasehat Nina. Lalu akupun menurutinya, ku
tutup jendela lalu berbaring di tempat tidurnya.
“ Kali ini loe kabur kenapa ?
Nilai jelek loe ketahuan ?” tebak Nina sambil berbaring di sampingku.
“ Enggak ! mama sekarang sudah
bosan ngomeli aku gara-gara nilaiku yang terus jeblok.”
“ Terus ?”
“
Gue ketahuan ngrokok di kamar.” Jawabku enteng.
“ Apa ? Loe ngrokok ? Ya ampun
Eca… sejak kapan loe ngrokok ? Kamu tau ga’ sih ngrokok itu…”
“ Ga’ baik buat kesehatan.”
Potongku cepat. “ Loe ini sama bawelnya kaya’ mama gue ya !” protesku
“ Eca, ini semua karena gue
saying ma loe. Gue g pengen lihat loe kacau kaya’ gini klo gue ga’ sayang ma
loe, gue ga’ bakalan ngingetin loe.”
“ Udah deh, gue ke rumah loe tu
buat nenangin pikiran gue. Tapi… loe malah kayak mama gue, ngoceh-ngoceh mulu
kayak burung beo, mrotes gue mulu, marahin gue mulu… gue capek, Nin….” Ucapku
sewot.
Lalu ku memunggungi Nina dan
mulai mempejamkan mata. Samar-samar ku mendengar Nina yang menggerutu.
“ Ye… diingetin malah
ngomel-ngomel dasar nenek sihir !” dan diam-diam ku tersenyum mendengar
ucapannya.
***
Tak terasa fajar telah
menyingsing. Sayup-sayup ku dengar nyanyian burung yang mengalun indah nan
merdu. Dan cahaya matahari mulai menyusup masuk dari celah-celah jendela. Ku
bangun dari tempat tidur dan melihat keluar jendela. Disana daun-daun dan
bunga-bunga terlihat segar karena kemarin malam hujan turun sangat deras. Lalu
samar-samar aku mendengar pertengkaran antara Nina dengan ayahnya di depan
kamar. Kerena penasaran, ku mendekatkan kupingku ke daun pintu mencoba
mendengarkan apa yang mereka pertengkarkan.
“ Kamu ga’ usah berteman lagi
dengan Eca, Nina! Dia bukan anak baik-baik dan itu bisa berdampak buruk buat
masa depanmu. Lebih baik jauhi si Eca itu!” Bentak ayah Nina.
“ Pa, Eca ga’ seburuk yang papa
piker. Eca itu anak yang baik, pa. eca adalah teman terbaik Nina.” Bela Nina.
“ Anak kayak gitu baik ? kalau
dia anak yang baik, mengapa dia sering kabur dari rumah ? dan mengapa setiap
dia kabur tujuannya harus kemari ? emang dia piker ini tempat penampungan apa
?”
“ Itu karena hanya rumah inilah
satu-satunya tempat tujuan Eca, pa…”
“ Ah masa bodoh! Pokoknya kamu
jangan berteman lagi dengan si Eca itu. Mengerti?!”
“ Tapi, pa…?”
“ Enggak! Sekali enggak tetep
enggak !” Ayah Nina mengukuhkan keputusannya.
“ Sudah cukup ! Aku tidak akan
membiarkan sahabatku dimarahi ayahnya hanya gara-gara aku.” Ucapku dalam hati.
Lalu aku mengambil tasku dan keluar dari kamar Nina.
“ Eca ?” seru Nina. Dia kelihatan
sangat kaget melihatku keluar dari kamarnya.
“ Papa loe benar, Nin. Gue emang
bukan anak baik-baik. Dan loe ga’ pantas bergaul dengan orang kayak gue.” Nina
tidak bisa menahan air matanya lagi.
Aku melihat dari sela-sela
matanya yang indah keluarbutiran Kristal bening yang terus menetes. Dan Nina tidak
berhenti menatapku dengan terheran-heran. Lalu aku mengalihkan pandanganku dari
Nina karena ku ga’ sanggup melihat orang yang paling kusayangi menangis.
“ Terimakasih ya, Om karena
selama ini sudah mengizinkan Eca tinggal disini. Eca janji, mulai sekarang Eca
ga’ akan kesini lagi. Jadi, Om ga’ usah khawatir.”
Selesai aku mengucapkan hal itu,
ku berlalu, melangkah meninggalkan rumah Nina. Ku masih bisa merasakan mata
Nina masih tertuju padaku sampai bayangankupun menghilang. Aku tau Nina sangat
sedih, tapi aku juga tidak mau membuatnya semakin sedih.
***
“ Ooo… Kamu dah pulang ? Mama pikir
kamu ga’ akan pulang lagi kesini.” Ledek mamaku yang baru pulang dari kantor,
jam menunjukan pukul 21:30.
Aku tidak merespon, aku tetap
membaca novel kesukaanku dan berpura-pura tidak mendengar ucapannya.
“ Sudah makan ?” tanyanya sambil
meletakakan tasnya di kursi. Sementara aku tetap tidak merespon.
“ Mama belikan martabak kesukaan
kamu, cepatan makan keburu dingin.”
Kini aku benar-benar sudah muak
dengan semua basa-basi yang dilontarkan mama. Tanpa mengucapkan sepatah
katapun, aku beranjak dari tempat duduk dan bermaksud meninggalkan mama. Tapi
tiba-tiba mama merebut novelku dan melemparnya begitu saja.
“ Mama mau kamu belajar, Eca !
Akhir-akhir ini kamu ga’ pernah sama sekali nyentuh buku kamu. Kalau buku itu
ga’ pernah kamu baca, buat apa kamu beli buku sebanyak itu ? kamu piker beli
buku itu ga’ pake duit apa ? kalau kayak gini jadinya ga’ ada gunanya kamu beli
buku itu. Lagi pula kamu bentar lagi ujian, inget Eca kamu sudah kelas 3 sma.
Jadi kamu harus…”
“ Hentikan !” teriakku
“ Aku bosan mendengar ocehan mama
setiap hari. Biarin aja Eca hambur-hamburin duit mama. Bukannya selama ini mama
sering pergi keluar kota mengurus bisnis mama itu menghasilkan duit banyak ?
Jadi, tenang aja ga’ bakalan habis kog ! Ato jangan-jangan mama nyesel ngluarin
duit buat Eca ? sebenarnya Eca ini anak mama bukan sih ? sepertinya mama
perhitungan banget ma Eca ?”
PLAK… Tangan mama mendarat keras
di pipiku.
“ Berani sekali kamu bicara
seperti itu. Perlu kamu tau, Eca…” perlahan mata air jernih itu keluar dari
mata mama
“ Mama ga’ pernah menyesal
mengeluarkan mengeluarkan duit banyak buat kamu, mama kerja memang buat kamu.
Kamu adalah penyemangat mama. Mama saying banget ma kamu, Eca. Mama ga’ ingin
melihat kamu hancur.”
“ Sayang ma Eca ? kalo mama
sayang ma Eca, kenapa mama cerai ma papa ? seharusnya kalo mama benar-benar
saying ma Eca, mama ga’ akan cerai ma papa. Mama egois ! Mama hanya memikirkan
diri sendiri ! Seharusnya ga’ begitukan, Ma…?!”
Kurasakan air mataku semakin
deras mengalir.
“ Dan satu lagi ! kalo mama
memang sayang ma Eca, kenapa mama sering pergi keluar kota ? Eca pengen mama
selalu ada di rumah, tapi apa ? buktinya mama selalu sibuk dengan urusan bisnis
mama itu. Apa itu yang dinamakan sayang ?”
“ Eca….”
“ Ma, apa mama pernah mikir
betapa khawatirnya Eca saat mama ga’ ada di rumah ? Eca kangen ma mama, Eca
pengen ketemu ma mama, tapi aku yakin pasti ga’ pernah terlintas dipikiran mama
tentang itu, iya kan ?” Aku menghapus air mata di pipiku.
“ Ma, Eca bosan bertengkar ma
mama.. Eca capek, Ma… Capek…!!”
Aku berlari meninggalkan rumah
dengan hati yang sangat hancur. Dan pecahnya telah lebur dan terbang diterpa
angin. Ku mendengar mama berteriak-teriak memanggilku tapi ku tak
menghiraukannya. Ku terus berlari tanpa tau harus kemana. Lalu… di persimpangan
jalan terlihat sebuah mobil yang melaju kencang ke arahku. Dan aku tak sempat
menghindar… Tidak ! Mungkin bahkan, aku memang sedang menunggu mobil itu
menghampiri dan akhirnya menerjangku. Detik kemudian, ku sudah tidak bisa
merasakan apa-apa. Aku hanya merasa tubuhku melayang jauh kea wan. Lalu, aku
melihat cahaya putih yang sangat terang yangmenunggu kedatanganku di depan
sana. Mama … maafkan Eca karena membuat mama susah, sedih, dan marah. Mama …
Eca sayang banget ma Mama. Nina…selamanya kau adalah mutiara yang paling
berharga dalam hidupku. Kau adalah penerang jiwaku.
Sahabat terbaikku…
Selamat tinggal Mama… Nina
Mungkin ini adalah jalan terbaik
buatku
Eca sayang kalian….
To be
countinue ….